Jam dinding menunjukkan tepat jam dua belas malam. Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya. Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai di dahinya. Kamu cantik Ratri,... bisikku perlahan.
Tanpa terasa, usai pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ke tiga tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya Allah... karuniakan kepada kami anak, seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah. Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini. Aku yakin, Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya,...itu pasti!! "Ratri..., bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus rumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak. Ah... aku sayang padamu Ratri .... Akhirnya, aku beranjak sendirian. Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam sholat malamku yang panjang.
Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan. Rabbahuma lain aataitana shoolihan lanakunanna minasy syaakiriin. Ya Allah, jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami termasuk orang-orang yang bersyukur.
Jam dinding berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat terakhir witirku, kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk. Kutatap wajahnya dengan geli. "Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?" godaku. Ratri semakin merajuk. "Si mas mesti begitu...., ngak bangunin Ratri....," protesnya. Aku tersenyum arif. "Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun lagi..." "Iya deeh..., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya manja. "Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku. Maklum besar di betawi. Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku. "Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu subuh....," elakku. Ratri masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.
Tanpa terasa, usai pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ke tiga tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya Allah... karuniakan kepada kami anak, seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah. Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini. Aku yakin, Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya,...itu pasti!! "Ratri..., bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus rumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak. Ah... aku sayang padamu Ratri .... Akhirnya, aku beranjak sendirian. Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam sholat malamku yang panjang.
Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan. Rabbahuma lain aataitana shoolihan lanakunanna minasy syaakiriin. Ya Allah, jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami termasuk orang-orang yang bersyukur.
Jam dinding berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat terakhir witirku, kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk. Kutatap wajahnya dengan geli. "Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?" godaku. Ratri semakin merajuk. "Si mas mesti begitu...., ngak bangunin Ratri....," protesnya. Aku tersenyum arif. "Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun lagi..." "Iya deeh..., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya manja. "Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku. Maklum besar di betawi. Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku. "Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu subuh....," elakku. Ratri masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.